Kemiskinan dan Ketimpangan


Terdapat realitas pembangunan global yang sebaiknya kita pahami. Pertama, lebih dari 50% penduduk si Kawasan Sub-Sahara Afrika hidup dalam kemiskinan ekstrem sejak tahun 1990. Pada 2015, secara global terdapat 736 juta orang yang hidup dalam kemiskinan ekstrem dan 413 juta orang di antaranya tinggal di sub-sahara Afrika. Kemiskinan esktrem adalah di mana seseorang hanya berpenghasilan USD 1.90 per hari bahkan kurang (kurang dari Rp. 30.000 dalam kurs USD 1=RP.14.000). Tanpa perubahan signifikan dalam proses pembangunan, maka kemiskinan ekstrem ini masih akan terus berlanjut hingga 2030. (UN, 2019)

Kedua, lebih dari 60% pendapatan global masuk ke kantong golongan 1% kelompok super kaya, yang menguasai perekonomian dunia. Hal ini tentu saja memicu ketimpangan sosial, ekonomi dan politik. Ketiga, naiknya emisi gas rumah kaca lebih dari 64% sejak 1990. Keempat, sejak 1998 sebanyak lebih dari 90% terjadi displacement atau pemindahan secara paksa dari kampung halaman/negara ke wilayah lain sebagai akibat konflik sosial hingga peperangan. Kelima, dalam konteks kesetaraan gender para perempuan dunia yang memegang posisi sebagai leader dalam bisnis global kurang dari 27%.

Ekonom seperti Martin Ravallion dari Georgetown University misalnya menyatakan bahwa sebenarnya selama 30 tahun terakhir pendekatan yang dilakukan untuk mengukur kemiskinan secara memadai. Sehingga kelompok miskin semakin miskin dan terjebak dalam kemiskinan ekstrem. Selama tiga dekade tersebut memang terjadi pengurangan kemiskinan global secara dramatis, dan tren ini meningkat sejak pergantian millennium. Namun, realitas menunjukkan bahwa akar masalah kemiskinan belum diselesaikan secara keseluruhan sehingga kelompok miskin tetap tertinggal dalam pembangunan. Proses negara-negara kaya keluar dari kemiskinan berbeda dengan cara negara-negara berkembang membebaskan diri dari kemiskinan. Saat ini, negara berkembang mengurangi jumlah orang miskin pada tingkat yang jauh lebih cepat daripada yang dilakukan negara maju. Tetapi, selama masa pengurangan kemiskinan yang cepat, negara maju jauh lebih berhasil meningkatkan tingkat kemiskinan, khususnya melalui kebijakan sosial yang masih membuat kelompok miskin terpuruk.

Ravallion mengakui bahwa negara berkembang masih menghadapi tantangan besar dalam mengembangkan kebijakan sosial yang sepenuhnya inklusif dan menjangkau anggota masyarakat termiskin. Namun, ia menyoroti bahwa pengurangan kemiskinan bukan hanya tentang program cash transfer yang ditargetkan dengan baik. Mereka dapat menjadi penting untuk pengentasan kemiskinan tetapi ada serangkaian kebijakan yang lebih luas yang diperlukan untuk mengurangi kemiskinan, sebagaimana dibuktikan oleh kasus Cina.

Ravallion menyarankan bahwa selama perjalanan sejarah manusia kita belum melihat sesuatu yang sebanding dengan pengurangan kemiskinan yang telah terjadi di Cina selama tiga puluh tahun terakhir. Transfer yang ditargetkan secara menarik memainkan peran yang sangat kecil dalam mengurangi kemiskinan di Tiongkok. Cina mengurangi kemiskinan melalui reformasi besar-besaran yang mendorong keterbukaan dalam ekonomi, investasi, dan pasar yang berfungsi dengan efisien. Ini memberikan akses kelompok termiskin ke tanah dan kredit, dan membuat pasar tenaga kerja lebih efisien, sehingga memberikan akses ke pekerjaan bagi orang miskin.

Selama tiga puluh tahun ke depan tantangan besar bagi negara berkembang adalah memastikan bahwa negara memiliki kapasitas untuk memerangi kemiskinan. Ironi kejam dari memerangi kemiskinan ekstrem adalah lebih sulit melakukannya di tempat-tempat miskin, karena ini adalah tempat-tempat yang tidak memiliki pemerintahan dengan kapasitas memadai dalam mengurangi kemiskinan. Kehendak politik tanpa adanya kapasitas negara hanyalah intervensi simbolik dan itu tak akan berhasil mengurangi kemiskinan. Mengembangkan kapasitas negara (pemerintah) yang lebih besar akan menjadi tantangan penting dalam perang melawan kemiskinan ekstrem dalam beberapa dekade mendatang.

Saat ini, dari 196 negara yang ada di bumi hanya 25 negara saja yang sangat kaya, dengan rata-rata pendapatan tahunan lebih dari USD 100.000 (Rp. 1,4 miliar dengan kurs USD 1= Rp. 14.000). Negara-negara super kaya itu ada di Amerika Utara, Eropa Barat, Australia, dan Korea Selatan untuk Asia. Sisanya (191 negara) adalah negara berkembang dan miskin, termasuk Indonesia. Sejumlah negara di Afrika dan Timur Tengah bahkan merupakan negara dengan kemiskinan ekstrem di mana penghasilan warganya tidak lebih dari USD 3 per hari (Rp. 42.000). Salah satu contoh negara dengan kemiskinan ekstrem adalah Zimbabwe yang pertumbuhan ekonominya sangat lambat. Jika pendekatan yang dilakukan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi negara ini tidak berubah, maka diperlukan waktu selama 2722 tahun agar GDP Zimbabwe mencapai USD 100.000. Pertanyannya: mengapa Sebagian kecil negara menjadi begitu kaya raya, sementara sebagian besar negara lainnya mengalami kemandegan pertumbuhan ekonomi dan tetap miskin?

Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi mengapa sebuah negara menjadi kaya atau tetap miskin, yaitu:

  1. Institusi/kelembagaan: negara-negara kaya memiliki institusi yang bagus, professional dan memiliki akuntabilitas yang baik. Negara-negara kaya dikenal dengan pemerintahan yang bersih dan bebas korupsi, sementara negara-negara miskin dijalankan oleh pemerintahan yang korup. Negara-negara kaya menggunakan pendapatan dari pajak untuk mengatasi masalah ekonomi dan pelayanan publik. Sementara negara-negara miskin yang tidak memiliki kebijakan bagus terkait pajak tentu tidak bisa menjawab masalah kemiskinan, apalagi memberikan layanan publik kepada warganya. Korupsi di negara-negara miskin juga berkaitan dengan nepotisme, di mana tenaga professional tidak memiliki tempat untuk memberi sumbangsih pada negara sebab lembaga-lembaga negara dan perusahaan mendahulukan ‘klan’ mereka.
  2. Budaya: hal ini berkaitan dengan kepercayaan, pola pikir dan agama. Semakin jauh sebuah negara dari agama, semakin kaya mereka. Terdapat 19 negara super kaya yang 70% penduduknya menyatakan bahwa agama tidak penting bagi mereka. Sementara di negara-negara miskin, bisa dipastikan bahwa agama merupakan bagian dari kehidupan setiap orang dan mereka percaya bahwa ada kekuatan supernatural yang bisa membantu mereka. Apa hubungan antara kekayaan dan agama? Negara-negara yang warganya menganut agama lebih mementingkan ibadah alih-alih meningkatkan kekayaan. Sementara penduduk di negara-negara kaya percaya bahwa keterampilan dan kemampuan bekerja akan membantu mereka mengubah nasib. Meksipun hal ini tidak berlaku bagi Amerika Serikat di mana agama Protestan tetap berkembang seiring pertumbuhan ekonomi negara adidaya tersebut.
  3. Geografi: negara-negara miskin rata-rata berlokasi di wilayah tropis. Iklim tropis mempengaruhi banyak hal, terutama di dunia pertanian, peternakan dan sumber-sumber penyakit mematikan seperti wabah kolera, malaria, ebola dan sebagainya. 100% negara-negara miskin secara berkesinambungan diserang oleh 5 penyakit menular paling mematikan. Kondisi geografi juga menyulitkan penduduk dalam konteks transportasi. Kekayaan alam di negara-negara tropis juga menjadi jebakan tersendiri, terutama jika diperkuat dengan korupsi para pejabat pemerintah. Selain itu, geografi juga menentukan bagaimana sebuah negara terhubung kepada dunia internasional dalam mengembangkan ekonomi mereka. Semakin sebuah lokasi sulit dijangkau, maka pertumbuhan ekonomi akan semakin lambat dan mereka akan terkurung dalam kemiskinan ekstrem.

Kemiskinan dan Ketimpangan1

Mengatasi kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan menjaga lingkungan di abad 21 ini tidaklah mudah. Negara-negara maju dan berkembang secara sendiri-sendiri memiliki program yang seringkali tidak sinkron antara satu dengan yang lainnya. Misalnya, ketika negara-negara berkembang diharapkan mampu menjaga lingkungan seperti merawat hutan tropis dari penebangan liar dan alih fungsi lahan demi menjaga keseimbangan iklim, negara-negara maju justru menggenjot industri berbasis bahan bakar fosil yang mencemari lingkungan untuk alasan ekonomi. Terutama jika diperparah dengan iklim demokrasi dan situasi politik yang korup, konflik sosial dan rasial yang merajalela, hingga ekstremisme dalam beragama.

Dalam menjawab tantangan tersebut, pada 25 September 2015 di Markas Besar PBB para pemimpin dunia bersepakat membuat suatu rencana aksi global guna mengakhiri kemiskinan, mengurangi kesenjangan dan melindungi lingkungan. Rencana aksi global tersebut bernama Sustainable Development Goals (SDGs) yang berisi 17 tujuan dan 169 target yang diharapkan dapat tercapai pada 2030. SDGs ini dirancang secara partisipatif melibatkan seluruh aktor pembangunan, baik itu Pemerintah, Civil Society Organization (CSO), sektor swasta, akademisi, dan sebagainya. Prinsip utama dari SDGs adalah Tidak Meninggalkan Satu Orangpun (Leave No One Behind).

Pemerintah Indonesia sendiri memiliki komitmen untuk melaksanakan SDGs, dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) SDGs Nomor 59 Tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan. Perpres tersebut juga merupakan komitmen agar pelaksanaan dan pencapaian SDGs dilaksanakan secara partisipatif dengan melibatkan berbagai pihak.

Namun pada kenyataannya, setelah 10 tahun SDGs dilaksanakan, kita bisa melihat 4 realitas pembangunan dan tren global yang membuat ‘pesimis’ bahwa SDGs bisa tercapai pada 2030, yaitu:

  1. Banyak kemajuan program pembangunan, tapi dunia seperti terpisah
    Kesenjangan sosial dan ekonomi antara 1 miliar orang terkaya di dunia dan 1 miliar orang termiskin telah melebar selama setengah abad. Orang-orang berpikir negara mereka lebih terpecah sekarang daripada sepuluh tahun yang lalu. (survei Ipsos BBC, 2018)
  2. Kemunduran dalam demokrasi: 13 tahun penurunan global dalam hak politik dan kebebasan
    Kekuatan otoriter memenjarakan para pemimpin oposisi, memperketat media independen. Sementara itu, banyak negara demokratis menghadapi korupsi epidemi, gerakan populis anti-liberal, dan kehancuran dalam aturan hukum, kekuatan kekuatan politik populis dan target terhadap minoritas untuk diskriminasi. (Freedom House survey, 2019)
  3. Pemanasan global dan dampaknya pada kerusakan lingkungan dan ekosistem
    Kerusakan ekosistem sudah terjadi. Sejak periode pra-industri, suhu udara permukaan tanah telah meningkat hampir dua kali lipat dari suhu rata-rata global. Perubahan iklim, termasuk peningkatan frekuensi dan intensitas ekstrem, telah berdampak buruk terhadap ketahanan pangan dan ekosistem serta berkontribusi terhadap penggurunan dan degradasi lahan di banyak daerah. (IPCC, 2019)
  4. Berita palsu dan era pasca kebenaran karena ketidakpercayaan yang lebih besar kepada pemerintah dan media di era digital
    Proliferation/peningkatan jumlah berita palsu juga tumbuh akibat runtuhnya kepercayaan publik terhadap sumber berita tradisional. Informasi salah yang dipublikasikan oleh situs yang ‘menyukai’ konspirasi tentang masalah serius di banyak sektor memenuhi pasar karena kegagalan dalam memenuhi permintaan masyarakat akan transparansi yang lebih besar. Informasi yang salah dan manajemen yang salah dari berita palsu memicu kegagalan kepercayaan pada jurnalis, politisi, dan pemerintah. (Forum Ekonomi Dunia, 2019)

Kondisi ini (yang bertepatan dengan 10 tahun pelaksanaan SDGs) diperparah dengan merebaknya wabah Covid-19 sejak awal 2020. Dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan sejak pertama kali merebak di kota Wuhan, Tiongkok pandemi ini telah meruntuhkan sistem kesehatan internasional, juga menurunkan aktivitas ekonomi dan sosial secara global. Akibatnya, krisis kembali merebak secara serempak dan warga dunia marah kepada pemerintahnya yang dianggap tidak mampu menjawab tantangan yang datang tiba-tiba ini. Kematian pasien Covid-19; pemutusan hubungan kerja besar-besaran; tutupnya usaha para pelaku UMKM; dirumahkannya para pegawai hingga anak-anak sekolah dan mahasiswa; membuat kita oleh bertanya tentang apakah secara ‘mendadak’ kita gagal mencapai tujuan SDGs dan kembali hidup dalam kemiskinan dan kesenjangan sebagaimana 10 tahun silam, atau lebih buruk dari itu? Ini tantangan kita bersama, termasuk para praktisi evaluasi pembangunan.

Kontributor: Wijatnika

Referensi:

#monev #kemiskinan #ketimpangan #ekonomi #sosial


Komentar

Silahkan login untuk memberikan komentar